KURIKULUM 1984
A. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 TK, SD/SDLB, SMP/SMPLB,
SMA/SMALB, SPG/LB dan SMK baik yang setingkat dengan tingkat SMP maupun yang
setingkat dengan tingkat SMA. Perbaikan terhadap kurikulum mencakup:
1. Peninjauan
kembali secara menyeluruh kurikulum yang berlaku melalui pendekatan
pengembangan dengan bertitik tolak pada:
a) Pilihan
kemampuan dasar, baik pengetahuan maupun keterampilan yang perlu dikuasai dalam
pembentukan kemampuan dan watak peserta didik.
b) Keterpaduan
dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik.
c) Penyesuaian
tujuan dan struktur kurikulum dengan perkembangan masyarakat, pembangunan, ilmu
pegetahuan dan teknologi.
2.
Pelaksanaan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa sebagai bidang/program yang berdiri sendiri, dari Taman
Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Tingkat Atas, termasuk Pendidikan
Luar Sekolah.
3.
Pengadaan program studi baru yang
merupakan usaha memenuhi kebutuhan perkembangan di lapangan kerja. Salah satu
prinsip pengembangan kurikulum 1984 adalah prinsip dekonsentrasi yang mempunyai
arti adanya pembagian kewenangan dalam pengembangan kurikulum antara Pusat dan
Daerah. Kewenangan daerah dalam hal ini terutama terletak pada pengembangan
keterampilan yang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat dan lapangan
kerja di daerah. Untuk maksud ini maka Staf Bidang Dikdas dan Dikmenum, Kanwil
Depdikbud memerlukan koordinasi/kerjasama dengan Kantor Depdikbud tingkat
Kabupatan dan atau Tingkat Kecamatan, Instansi lain yang terkait, misalnya
Kanwil Depnaker, KADIN, dan Perusahaan, Pemerintah Daerah antara lain Gubernur,
Walikota/Bupati, khususnya BAPPEDA.
Berdasarkan uraian di
atas maka yang dimaksudkan dengan perangkat kurikulum 1984 adalah :
1)
Landasan, Program, dan Pengembangan
2)
Garis-Garis Besar Program Pengajaran
3)
Pedoman-pedoman Pelaksanaan Kurikulum
1984
Secara umum dasar perubahan
kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Terdapat beberapa unsur dalam GBHN
1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Terdapat ketidakserasian antara
materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik.
3. Terdapat kesenjangan antara program
kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
4. Terlalu padatnya isi kurikulum yang
harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
5. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai
dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk
Pendidikan Luar Sekolah.
6. Pengadaan program studi baru
(seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Atas
dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum
1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan
kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap
kurikulum 1975.
Kurikulum ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi
Humanistik, yang memandang anak didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif
mencari sendiri, menjelajah dan meneliti lingkungannya. Oleh sebab itu
kurikulum 1984 menggunakan pendekatan proses, disamping tetap menggunakan
orientasi pada tujuan.
Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting.
Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi
siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting
dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala
Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok
secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan,
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.
Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada
tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan.
Setelah
berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984
terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu
banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia.
Pengembangan
Kurikulum 1984 perlu berpedoman pada azas-azas (1) berdasarkan Pancasila,
Undang-Undang 1945 dan GBHN, (2) Keluwesan dengan mempertimbangkan baik
tuntutan kebutuhan peserta didik pada umumnya maupun kebutuhan peserta didik
secara individu sesuai dengan minat dan bakatnya, serta kebutuhan lingkungan,
(3) Pendekatan Pengembangan yang berarti bahwa pengembangan kurikulum dilakukan
secara bertahap dan terus menerus.yaitu dengan jalan melakukan penilaian
terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk maksud
perbaikan/pemantapan dan pengembangan lebih lanjut, dan (4) Peran serta daerah
dimana daerah berwewenang menjabarkan lebih lanjut materi program keterampilan
dan khususnya program B untuk Sekolah Menengah Atas. Kurikulum 1984
dilaksanakan secara bertahap mulai dari kelas I pada tahun ajaran 1984/1985,
kelas I dan kelas II pada tahun ajaran 1985/1986, dan seterusnya.
HAKIKAT
CBSA
Keaktifasn dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun
untuk mencapai maksud ini dalam hal di persyaratkan keterlibatan langsung dalam
perlbagai bentuk keaktifan fisik. Salah satu cara untuk meninjau derajat ke
CSBSA-an di dalam peristiwa belajar mengajar adalah dengan menkonsepsikan
rentangan antara dua kutub gaya mengajar. McKeachie mengemukakakn tujuh dimensi
di dalam proses belajar mengajar,yang didalamnya dapat terjadi variasi kadar ke
CBSA-san. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud adalah :
1. Partisipasi siswa di dalam menteapkan tujuan
kegiatan belajar mengajar
2. Tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran.
3. Partispasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
4. Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan atau
kontribusi siswa yang kurang relevan atau bahkan sama sekali salah.
5. Kekohesifan kelas sebagai kelompok.
6. Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan
kepada siswa untuk mengambil keputusan -keputusan penting dalam kehidupan
sekolah.
7. Jumlah waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi
masalah pribadi siswa baik aatau tidak maupun yang berhubungan dengan pelajaran(Hasibuan, 1995:9)
IMPLIKASI
CBSA BAGI SISTEM PENYAMPAIAN
Pokok-pokok
pikiran yang dikemukakan dalam bagian-bagian terdahulu menyarankan implikasi
perubahan perencanaan dan pelaksanaan penyajian kegiatan belajar mengajar yang
cukup mendasar. Pengalaman belajar yang diberikan kepada calon guru atau
instruktor hendaknya jangan memisahkan komponen akademik dengan komponen
profesional, jangan diceraikan teori dan praktek.Disamping itu faktor guru
sendiri (filosofinya, ketrampilannya, serta faktor-faktor kepribadian lainnya)
serta faktor-faktor eksternal seperti tersedianya fasilitas dan besarnya kelas,
ikut pula menentukan pilihan cara penyampaian. Salah satu kemungkinan strategi
pengkajian ke CBSA-an suatu kegiatan belajar mengajar sudah barang tentu
sekaligus implisit termasuk pengkajian keserasian dengan tujuan yang mau
dicapai melalui kegiatan yang dimaksud, dilukiskan dalam diagram. Akhirnya
filosofi guru agaknya patut memperoleh sorotan khusus, CBSA bertolak darri
anggapan bahwa siswa memiliki ptensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila
mereka diberi babnyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka
cara memandang dan menyikapi tugas guru harus berorientasikan bukan lagi
sebagai sang mahatahu yang siap untuk memebri kebijaksanaan (Hasibuan, 1995:10)
B. Kurikulum 1984 di SLB
Tahun
1984 pemerintah mencanangkan gerakan
wajib belajar enam tahun, yang berarti bahwa semua anak usia sekolah harus
menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat SD: Untuk
menuntaskannya, berbagai langkah telah ditempuh, misalnya pendirian
sekolahsekolah baru, gerakan Kejar Paket A, sekolah kecil, sekolah terbuka,
dsb.
Gerakan
wajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan PLB
di tanah air. Anak luar biasa tidak mungkin tertampung di SLB-SLB yang telah
ada. Kecuali jumlahnya masih sangat terbatas, letaknyapun sebagian besar berada
di kota-kota besar, sedangkan hampir semua pengelolanya adalah yayasan swasta.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah penting telah diambil, antara
lain:
Diperkenalkannya bentuk layanan
pendidikan yang baru, yaitu sekolah dasar luar biasa (SDLB). Berbeda dengan
SLB, SDLB menyelenggarakan pendidikan dasar bagi tunanetra, tunarungu,
tunagrahita dan tunadaksa dalam satu sekolah. Dengan dana proyek Inpres, pada
tahun 1984 didirikan sebanyak 200 buah SDLB pada 200 kabupaten/kotamadya yang
belum mempunyai SLB sama sekali.
Diresmikannya beberapa sekolah umum
untuk dapat juga menerima ALB, terutama penyandang tuna netra dengan potensi
akademik normal. Sekolah ini kemudian disebut sekolah terpadu.
Didirikannya SLB Pembina di berbagai
daerah di Indonesia. Seperti dijelaskan sebelumnya, hampir semua SLB yang ada
adalah sekolah swasta. Kecuali menjadi sekolah model bagi SLB-SLB swasta di
sekitarnya dalam hal penyelenggaraan pendidikan. SLB Pembina merupakan sekolah
negeri yang didirikan untuk tujuan penelitian, pelatihan, dan pendidikan dalam
bidang PLB.
Dari
data ini terlihat bahwa tidak banyak perubahan dalam layanan PLB di Indonesia. Pertama,
jenis kecacatan yang dilayani masih tetap sarna, yaitu hanya anak-anak
tunanetra, tunarungu-wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tuna ganda.
Belum pernah ada pemikiran untuk juga menyediakan layanan khusus bagi anak-anak
lambat belajar dan berkesulitan belajar di sekolah-sekolah biasa. Kedua, bentuk
layanan masih cenderung segregatif. Meskipun ada upaya mengintegrasikan anak
tuna netra di sekolah biasa, perkembangannya ternyata tidak menggembirakan.
ANALISIS
Kurikulum yang terus berubah bertujuan untuk memperbaiki
dan memperbaharui dalam proses penyemburnaan kurikulum yang sebelumnya agar
sesuai dengan tantangan masa depan yang terus maju. Kurikulum 1984 merupakan
hasil penyempurnaan dari kurikulum 1975. Secara umum, isi dari kurikulum 1984 mengarah pada orientasi
pelajaran yang menekankan pada keseimbangan antara kognitif, ketrampilan, sikap, antara
teori dan praktik, menunjang akan tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran.
Kualifikasi lulusan lebih jelas dan terarah pada lapangan pekerjaan tertentu.
Mengandung unsur peningkatan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Orientasi kurikulum pada pendekatan bidang studi program yang terbagi menjadi 2
program yang dilaksanakan oleh SMA yakni program A program-program yang disesuaikan
dengan kepentingan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan program B program yang disesuaikan dengan bidang-bidang kehidupan di masyarakat (ketrampilan). Pada program B untuk SMA dimaksudkan untuk memberikan
bekal dasar ketrampilan, tetapi bagi SMK program-program yang ada di program B
akan didapat secara mendalam.
Metode
pembelajaran menggunakan konsep CBSA
atau dengan kata lain siswa menjadi subjek dalam pembelajaran karena siswa
diberikan kesempatan untuk aktif secara
fisik, mental, intelektual dan emosional. Kurikulum
didesain menggunakan prinsip efisiensi dan efektivitas, relevansi dengan
kebutuhan, keluwesan dan pendidikan seumur hidup (Abdullah, 2007: 34-37).l Selain itu pelaksanaan
kurikulum diikuti dengan berlakunya wajib belajar 6 tahun.
Secara umum karakteristik dari metode CBSA menurut Ade (2010); Radicks (2012) diantaranya mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Proses belajar mengajar memberi tekanan kepada proses
pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya
dilakukan secara efektif dan efesien.
Selain itu, pendekatan CBSA menitikberatkan pada keaktifan siswa yang
merupakan inti dari kegiatan belajar
yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti mendengarkan, berdiskusi
dan sebagainya. Pengemasan bahan ajar berdasarkan
kedalaman dan keluasan materi pelajaran sesuai dengan
tingkat dan jenjang pendidikan. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum
diberikan latihan. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau
kematangan siswa. melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan
abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif
Setiap kurikulum tentu memiliki kelebihan dan kekurangan . Kelebihan yang
dimiliki akan tetap dipertahankan, sedangkan kekurangan yang ada akan
diperbaiki dan disempurnakan. Kelebihan dan kekurngan kurikulum 1984 menurut Masliana; Radicks (2012) adalah sebagai berikut. Kelebihan kurikulum tahun 1984:
1.
Kurikulum ini memuat materi dan metode
yang disebut secara rinci, sehingga guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.
2. Keterlibatan
siswa di dalam kegiatan- kegiatan belajar yang telah berlangsung yang
ditunjukkan dengan peningkatan diri dalam melaksanakan tugas dan keberanian mengemukakan pendapat dalam diskusi kelas
3. Anak
dapat belajar dari pengalaman langsung.
4. Kualitas
interaksi antara siswa sangt tinggi, baik intelektual maupun sosial.
Sedangkan
kelemahan yang dimiliki kurikulum 1984 adalah sebagai berikut:
1. Banyak sekolah yang mensalahtafsirkan metode CBSA. Mereka
beranggapan diskusi yang dilakukan menjadikan suasana gaduh di
ruang kelas.
2. Guru dan siswa mengalami ketergantungan pada materi
dalam suatu buku teks dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk
guru dan siswa tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki
sumber belajar sangat terbatas.
3. Proses pembelajaran hanya didominasi oleh
seorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak pendapat peserta lain. Siswa yang pandai akan bertambah pandai
sedangkan yang bodoh akan ketinggalan.
4. Guru berperan sebagai fasilitator, sehingga
prakarsa serta tanggung jawab siswa atau mahasiswa dalam kegiatan belajar
sangat kurang. Selain itu, guru
kurang komunikatif dengan siswa.
5. Materi pelajaran tidak tuntas dikuasai
siswa karena diperlukan
waktu yang banyak dalam pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Masliana. 2012. Kelemahan
dan Kelebihan Masing-masing Kurikulum 1975-2006. Diakses dari
http://liana-masliana.blogspot.com/2, pada tanggal 5 maret 2013.
Abdullah Idi. 2007. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.
Radicks.
2012. Karakteristik, Kelebihan Dan
Kekurangan Kurikulum Dari Tahun 1968 Sampai Tahun 2006. Diakses dari http://kupatkepot.blogspot.com, pada tanggal 5 Maret 2013.
Hasibuan.
1995. Proses belajar mengajar . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Related Posts
Anak Tunalaras
Menurut Sunardi (1995:1) Tunalaras umumnya
diasosiasikan dengan anak dan remaja yang sering menimbulkan keresehan dan
keonaran, baik di sekolah dan ... readmore
KODE ETIK GURU INDONESIA NOMER 1
Guru
berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya
yang berjiwa pancasila.
Oleh Suci Rahmawati 11103241020
Pera ... readmore
JENIS DAN PENANGANAN KONJUNGTIVITIS
Oleh
Suci Rahmawati
11103241020
/ PLB 4A
PENDAHULUAN
Mata merupakan organ
yang penting dimiliki makhluk hidup termasuk manusia karena ber ... readmore